Tak Mau Seperti Rempang, Warga Air Bangis Pasbar desak penyelesaian konflik agraria di lahan PSN

- 20 September 2023, 12:00 WIB
Salah satu plang yang dipasang di lahan kawasan hutan Air Bangis yang melarang warga menggunakan lahan atau mengambil hasil kebun sawit tanpa izin
Salah satu plang yang dipasang di lahan kawasan hutan Air Bangis yang melarang warga menggunakan lahan atau mengambil hasil kebun sawit tanpa izin /Marawatalk/BBC News Indonesia

 

MARAWATALK-Setelah menggelar unjuk rasa di Kota Padang awal Agustus lalu, perwakilan warga Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat mengadukan persoalannya ke Komnas HAM dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang di Jakarta, pada Selasa 19 September 2023.

Dikutip dari laman BBC News Indonesia, pada Rabu 20 September 2023, sebelumnya pada Senin 11 September 2023 pihak Komnas HAM telah mengeluarkan Surat Perlindungan kepada warga Air Bangis dan pendampingnya.

Pada kesempatan tersebut, perwakilan warga Nagari Air Bangis melakukan dialog dan mendesak pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang agar segera menyelesaikan konflik lahan di wilayahnya.

Masyarakat khawatir jika lahan itu dijadikan kawasan industri petrokimia dan masuk sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), mereka bakal digusur dari lokasi yang selama ini menjadi sumber nafkah. Namun, dalam pertemuan dengan perwakilan warga itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengaku belum bisa menentukan status kepemilikan lahan di Air Bangis.

Baca Juga: Terkait Konflik di Air Bangis Pasbar, Komnas HAM: Selesaikan dengan Restoratif Justice

Warga Air Bangis berkukuh sudah turun temurun tinggal di lahan perkebunan di sana. Mereka mengeklaim baru mengetahui dalam beberapa tahun terakhir bahwa lahan yang mereka kelola ternyata masuk dalam kawasan hutan produksi.

Usai pertemuan dengan perwakilan warga, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengatakan status kepemilikan lahan tersebut belum bisa ditentukan karena masih ada perbedaan data.

“Saya sudah minta teman-teman di Kanwil untuk melakukan inventarisasi menyediakan data yang lebih baik dalam satu-dua minggu ini. Kalau datanya sudah relatif solid nanti kita bertemu lagi untuk adu data dan kita coba cari,” ujar Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni, usai melakukan audiensi dengan pihak warga, Selasa sore.

Ia mengatakan bahwa sebagian Hak Guna Usaha memang berada di luar persetujuan dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), koperasi yang berada di kawasan tersebut. Namun, sebagian besar dari lahan itu merupakan kawasan perhutanan, kata Raja.

“Dari kasus ini tampaknya nggak banyak yang berkaitan dengan kami. Karena misalkan dengan kawasan hutan, itu KLHK. Dan dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR),” katanya.

Baca Juga: Aksi Penolakan PSN Air Bangis, Pemprov Sumbar Yakin Ombudsman Jernih Melihat Permasalahan

Sementara itu, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, tak sepakat dengan apa yang diutarakan Raja.

Meskipun ia mengakui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki peran besar dalam penentuan status lahan, ia menilai Kementerian ATR/BPN menjadi muara terakhir dalam penanganan konflik agraria di Air Bangis.

“Sebelum ini berakhir ricuh, ketika PSN-nya seburuk-buruknya terjadi, ATR-BPN sudah tahu bahwa ketika mengeluarkan hak pengelolaan di wilayah kawasan itu, maka ini akan berdampak konflik pada orang yang lebih luas lagi,” kata Uli.

Mirip seperti Rempang Kepri, Warga merasa diintimidasi dan dijajah hingga trauma

Sebelumnya, pada Agustus 2023 lalu, sekitar 1.500 warga Nagari Air Bangis, Pasaman Barat, Sumatera Barat, menentang rencana pembangunan kawasan industri petrokimia yang diusulkan menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).

Aksi penolakan selama hampir sepekan di Kota Padang berujung pada pemulangan paksa ribuan orang dan penangkapan sewenang-wenang oleh belasan orang aparat.

Hingga pada akhirnya, Komalawati dan empat orang warga Air Bangis berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan lahan mereka. Ia mengaku, masyarakat di sana mengalami apa yang disebutnya sebagai "intimidasi" setiap hari setelah aksi-aksi bulan lalu.

“Kami merasa seperti dijajah. Setiap pagi dan malam mereka keliling di kampung kami. Jadi anak-anak kami itu trauma. Jangankan anak, orang tua, pihak perempuan, mereka semua kena mentalnya,” ungkap Komalawati, usai pertemuan dengan Wakil Menteri ATR-BPN, Raja Juli Antoni.

Baca Juga: Setelah di Sumbar, Kini Warga Rempang Batam Bakal Demo Tolak PSN

Ia mengatakan, masyarakat Air Bangis terancam kehilangan mata pencaharian utama mereka, karena penjualan sawit hanya dibatasi pada koperasi setempat saja.

Masih dikutip dari laman BBC News Indonesia pada awal Agustus lalu, menurut catatan Walhi, sebagian dari lahan masyarakat telah dikembalikan ke negara karena khawatir dengan ancaman pidana kehutanan.

Disebutkan pula bahwa sebagian tanah itu juga dikelola oleh Koperasi Sumber Usaha (KSU) Air Bangis.

Sebagai pemegang izin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK), KSU Air Bangis meminta masyarakat menyerahkan lahan perkebunan mereka atau bergabung dengan koperasi ini sebagai tempat menyalurkan hasil panen mereka.

Menurut Komalawati, hasil kebun mereka tidak bisa dijual ke pihak luar, hanya ke koperasi. Di sinilah, dia menaruh khawatir itu berdampak pada kehidupan keluarganya.

Baca Juga: Soal PSN Rempang Eco City di Batam, DPR RI Minta Polisi Lindungi Rakyat

Ia bersama warga lainnya juga khawatir akan kehilangan tempat tinggal jika Nagari Air Bangis diberi status lahan Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Kami berharap jangan sampai kami digusur. Jangan sampai kami nasibnya seperti kericuhan di Rempang,” pintanya.

Harga panen petani dipatok jauh lebih murah oleh KSU Air Bangis

Kameh Zulyaden, seorang warga yang tetap memilih bertahan di Nagari Air Bangis, Sumatera Barat, mengatakan harga yang dipatok oleh koperasi jauh lebih murah dibanding pihak lain.

Ia menyebut perbandingannya bisa sampai Rp300 sampai Rp350 per kilogramnya. Sementara, keuntungan yang mereka peroleh hanya sekitar Rp200 per kilogram.

“Kalau masyarakat tidak melakukan perlawanan, petugas yang ada di sini terus menyuruh warga untuk menjual buah sawit kepada koperasi itu,” sebutnya.

Berdasarkan pengamatan Kameh, di sekitar lahan perkebunan sawit terdapat plang-plang yang melarang warga menanam sawit ataupun memanen sawit dari kawasan. Jika dilanggar, mereka terancam pidana penjara tiga tahun atau denda paling besar Rp5 miliar.

“Saya harap kami bisa berkegiatan seperti warga biasanya dan tidak ada lagi intimidasi-intimidasi yang diberikan kepada kami,” kata Kameh.

Pemprov Sumatera Barat klaim situasi Air Bangis relatif aman

Terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Barat, Hansastri, mengatakan berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Gubernur Sumatera Barat dalam rapat setelah meninjau lapangan, situasi di Air Bangis relatif aman.

“Hingga saat ini belum ada penetapan status sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Permohonan PSN diproses di Kemenko Perekonomian,” kata Hansasitri.

Meski begitu, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan, sebelum ke Kementerian ATR/BPN, warga sempat mendatangi Komnas HAM untuk meminta perlindungan dari initimidasi aparat.

“Warga meminta perlindungan pasca-aksi yang dibubarkan paksa kemarin. Sebenarnya Komnas HAM mengeluarkan surat perlindungan kepada masyarakat dan lembaga pendamping,” kata Uli.

Ia mengatakan bahwa hak atas tanah itu adalah bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, mereka berhak mendapatkan perlindungan negara.

Baca Juga: Dinilai Ada Kepentingan di Pulau Rempang, Kepala BP Batam Diminta Terbuka

Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Uli Parulian Sihombing, mengatakan bahwa Komnas HAM akan membuat pendapat HAM atas kasus tersebut di MA.

"Komnas HAM telah mengeluarkan surat perlindungan HAM untuk warga air bangis, dan pendampingnya pasca kejadian di Mesjid Raya Padang. Kami sudah sampaikan ke Polda Sumbar, jika memang ada intimidasi, kami akan minta penjelasan ke Polda Sumbar," kata Uli.

Sementara, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian mengatakan lahan yang berluas 30.000 hektare (ha) berpotensi dijadikan PSN di bawah Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 7 tahun 2023.

Padahal, lanjut Uli, penetapan PSN pada Nagari Air Bangis bertentangan dengan UU Nomor 27 tahun 2007 yang mengatur ruang lingkup wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebab, dari 30.000 hektare itu, 10.000 hektare di antaranya berupa daerah pesisir.

"Pengaturan tata ruang itu dibawa UU sedangkan PSN itu dibawah peraturan menteri. Ini sudah mengacau-balaukan struktur hukum," tutupnya.***

Dapatkan info menarik dan terupdate lainnya hanya di laman Google News kami, klik padang.pikiran-rakyat.com, sumber informasinya Rakyat Minangkabau.

 

Editor: Rully Firmansyah

Sumber: BBC News Indonesia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah