Mahasiswa Politeknik di Sumbar Korban TPPO, Magang ke Jepang Malah Jadi Buruh

28 Juni 2023, 12:34 WIB
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro usai konferensi pers TPPO di Gedung Mabes Polri, Jakarta /Foto/media antara/

MARAWATALK - Lagi, Satuan Tugas (Satgas) Polri membongkar kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan korban mahasiswa. Pelaku menjalankan aksinya dengan modus program magang ke Jepang.

Kali ini, dua orang mantan direktur sebuah Politeknik dengan berinisial G dan EH ditetapkan menjadi tersangka.

Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan pengungkapan berawal dari dari laporan korban ZA dan FY kepada pihak KBRI Tokyo, Jepang.

“Korban dikirim untuk magang di perusahaan Jepang, namun sesampai di Jepang malahan dipekerjakan sebagai buruh,” kata Djuhandhani Rahardjo Puro di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/6).

Baca Juga: Polda Sumbar Berhasil Evakuasi 17 Korban TPPO di Malaysia

Ia mengungkapkan, kronologi TPPO itu berawal saat korban berinisial ZA dan FY bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirim sebuah Politeknik di Sumatera Barat (Sumbar) melaksanakan magang di perusahaan Jepang.

Lanjutnya, pada awalnya korban tertarik untuk kuliah di politeknik tersebut karena tersangka G, Direktur Politeknik periode 2013-2018 menerangkan keunggulan dari politeknik tersebut berupa program magang ke Jepang untuk beberapa jurusan yaitu teknologi pangan, tata air pertanian, mesin pertanian, hortikultura, dan perkebunan.

Korban yang tertarik kuliah di Politeknik tersebut kemudian mendaftar program magang di Jepang selama satu tahun pada 2019. Korban pun mengikuti seleksi di program studi dan seleksi di tingkat kampus atau akademik untuk magang tersebut.

Hasil seleksi tersebut korban lulus untuk mengikuti program magang di Jepang. Keputusan korban lulus seleksi itu dilakukan oleh EH selaku direktur pada salah satu Politeknik periode 2018-2022.

“Selama 1 tahun magang, korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang akan tetapi bekerja seperti buruh. Berakibat, korban sebagai mahasiswa mengalami eksploitasi,” ungkapnya.

Baca Juga: Polri Selamatkan 1.476 Korban TPPO Dari 457 Tersangka

Saat magang di perusahaan Jepang itu, korban dipaksa bekerja 14 jam dari pukul 08.00-22.00 WIB, selama sepekan tanpa libur. Sementara untuk istirahat, korban hanya diberikan waktu 10-15 menit untuk makan dan tidak diizinkan untuk melaksanakan ibadah.

“Korban mendapatkan upah sebesar 50.000 Yen (Rp5 juta per bulan) dan korban harus memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 Yen atau setara sekira Rp2 juta per bulan,” katanya.

Korban diberangkatkan pelaku menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, setelah habis masa berlaku kemudian diperpanjang oleh pihak perusahaan menjadi Visa kerja selama enam bulan.

Mengetahui masa tugas diperpanjang, korban lantas menghubungi pihak kampus meminta dipulangkan.

Namun bukan mendapat respons positif, korban justru korban diancam pihak Politeknik di Drop Out (DO) apabila tidak melanjutkan kerja sama dengan pihak perusahaan Jepang tersebut.

Baca Juga: Jumat Curhat Kapolsek Talamau, Isu Narkoba dan TPPO Mengemuka

Djuhandhani menyebut berdasarkan hasil penyidikan diperoleh fakta bahwa politeknik tersebut tidak memiliki izin untuk proses pemagangan di luar negeri.

Menurut ketentuan yang mana diatur dalam Permenaker Nomor: PER.08/MEN/V/2008 tentang tata cara perizinan dan penyelenggaraan pemagangan di luar negeri.

Selain itu, politeknik dalam menjalankan program magang juga tidak memiliki kurikulum pemagangan di luar negeri. Lalu, menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri dalam hal ini perusahaan di Tokyo-Jepang tanpa diketahui oleh pihak KBRI Tokyo.

Polisi mengungkapkan, kedua pelaku mendapatkan sejumlah keuntungan setelah mengirimkan mahasiswa untuk magang di perusahaan Jepang tersebut.

Keuntungan itu, berupa dua program studi di Politeknik itu mendapat A dari semula terakreditasi B. Begitu juga dengan program studi di Politeknik lainnya mendapatkan akreditasi B.

Selain itu, program magang ke perusahaan di Jepang itu meningkatkan jumlah mahasiswa baru di kampus tersebut yang sebelumnya di bawah 1.000 orang.

Namun pada saat dipimpin G menjadi 1.200-1.400 orang. Tersangka G dapat ke Jepang untuk melihat perusahaan tempat di mana mahasiswa sedang melaksakan magang menggunakan dana kontribusi dari para mahasiswa.

Dana kontribusi yang dibebankan kepada mahasiswa magang luar negeri itu digunakan untuk membayar biaya-biaya yang digunakan selama G di Jepang.

Biaya-biaya itu disebutnya seperti Supervisi ke Jepang, biaya pengurusan Visa ke Jepang di Medan, Sumatera Utara, seleksi mahasiswa.

Kemudian pengiriman surat-surat mahasiswa yang telah lulus ke Jepang, transportasi penandatangan MoU dan LOA dengan pimpinan perusahaan di Jakarta (sekali pada tahun 2017).

Selanjutnya, biaya pelatihan traktor sebagai pembekalan, dan biaya kursus Bahasa Jepang (Tahun 2013-2018). Biaya konsumsi kedatangan pimpinan perusahaan Shimota, dan biaya transportasi pengantaran mahasiswa ke Bandara Padang dan penjemputan pada saat kembali ke Indonesia.

Polisi mengungkapkan, sampai dengan Januari 2021, masih terdapat saldo penerimaan dana kontribusi sebesar Rp238.676.000,00. Namun, pembebanan dana kontribusi kepada mahasiswa magang luar negeri belum mempunyai dasar hukum.

“Program pemagangan luar negeri ini sudah berlangsung dari Tahun 2012,” ucap dia.

Baca Juga: Soal Sindikat TPPO, Polri: Jika Ada Oknum Jadi Beking, Pasti Akan Ditindak Tegas

Barang bukti yang disita polisi terkait kasus ini berupa satu bundel fotocopy surat dari Politeknik perihal permohonan rekomendasi pengurusan paspor. Satu lembar surat Kepala Dinas Perindustrian Tenaga Kerja.

Satu bundel rekening korban Bank BRI, satu lembar fotocopy slip penyetoran Bank BNI, satu lembar fotocopy bukti pembuatan tagihan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Satu lembar fotocopy bukti penerimaan negara, tujuh lembar nota Dinas Direktur Politeknik, enam lembar kwitansi, 17 lembar slip penarikan ATM Bank Mandiri Syariah Indonesia. Empat bundel fotocopy arsip dokumen magang Jepang Politeknik, satu bundel fotocopy program magang Politeknik.

Satu bundel printout persyaratan yang dilampirkan dalam pembuatan paspor, satu bendel fotocopy Perdim 11, dua buah paspor, sembilan lembar hasil sita Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Jepang dan satu lembar daftar gaji dan potongan korban.

Pelaku dijerat Pasal 4 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO dengan ancaman hukuman penjara 15 tahun, denda paling banyak Rp600 juta. Serta Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007, tentang TPPO dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp600 juta. ***

Editor: Irfansyah Pasaribu

Sumber: Merdeka.com

Tags

Terkini

Terpopuler