RUU Polri Dianggap Ancaman terhadap Demokrasi dan Kebebasan Sipil di Indonesia? Kok Bisa?

- 30 Juni 2024, 16:13 WIB
Ilustrasi demokrasi*
Ilustrasi demokrasi* /Pixabay/PIRO4D/

 

MARAWATALK - Rancangan Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) yang sedang dibahas di DPR RI telah menimbulkan kekhawatiran serius di berbagai kalangan masyarakat. Meskipun tujuannya adalah untuk memperkuat dan memodernisasi institusi kepolisian, RUU ini justru berpotensi menjadi ancaman besar terhadap demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Beberapa aspek krusial dari RUU ini menunjukkan kecenderungan untuk memperluas kewenangan kepolisian tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang memadai, serta berpotensi mengkriminalisasi kritik terhadap institusi kepolisian.

Revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) telah menimbulkan kekhawatiran yang signifikan di kalangan masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia, dan akademisi.

Banyak yang melihat bahwa perubahan yang diusulkan dapat membawa dampak negatif terhadap demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi ancaman yang dihadirkan oleh RUU Polri terhadap dua aspek penting tersebut.

Baca Juga: Mengapa Omnibus Law Cipta Kerja Ditolak hingga Picu Pembangkangan Sipil? Ini Penjelasannya!

Ini Pasal yang Berpotensi Picu Pelemahan Demokrasi

Ilustrasi demokrasi.
Ilustrasi demokrasi.

Baca Juga: Judi Online Teror Masyarakat, Ini Kajian dan Sanksi Hukum serta Sanksi Sosialnya

  • Penguatan Kewenangan Polri

Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan dari RUU Polri adalah penguatan kewenangan Polri dalam hal penegakan hukum dan keamanan nasional. RUU ini berpotensi memberikan otoritas yang lebih besar kepada Polri untuk melakukan tindakan yang sebelumnya memerlukan persetujuan atau pengawasan lembaga lain. Kewenangan yang tidak terkontrol dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan represif yang merugikan demokrasi.

  • Pengawasan dan Akuntabilitas

Demokrasi yang sehat memerlukan sistem pengawasan dan akuntabilitas yang kuat. RUU Polri dapat mengurangi mekanisme pengawasan yang ada, terutama jika independensi lembaga-lembaga pengawas dilemahkan. Tanpa pengawasan yang memadai, kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum oleh anggota Polri meningkat, dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.

  • Penyalahgunaan Kekuasaan

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa peningkatan kewenangan tanpa pengawasan yang memadai sering kali mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan. Di Indonesia, sejarah mencatat sejumlah kasus di mana kekuatan keamanan negara digunakan untuk kepentingan politik atau pribadi. RUU Polri, dengan peningkatan kewenangannya, bisa membuka jalan bagi penyalahgunaan semacam ini, yang pada akhirnya mengancam proses demokrasi.

Baca Juga: Transformasi Hukum Era Digital: Tinjauan Sosiologis Terhadap Sistem Hukum dalam Menghadapi Perubahan Teknologi

Dampak terhadap Kebebasan Masyarakat Sipil

Ilustrasi kebebasan berbicara.
Ilustrasi kebebasan berbicara.

Baca Juga: KABAR KAMPUS Baru 'Nyadar' Itu Memberatkan, Mendikbudristek Nadiem Makarim Batalkan Kenaikan UKT 2024

  • Pembatasan Hak Berpendapat dan Berkumpul

Salah satu elemen fundamental dalam kebebasan sipil adalah hak untuk berpendapat dan berkumpul. RUU Polri dapat memberikan kewenangan kepada Polri untuk membatasi atau mengendalikan kegiatan demonstrasi dan protes dengan dalih menjaga ketertiban umum. Pembatasan ini dapat digunakan untuk meredam suara-suara kritis terhadap pemerintah, mengancam kebebasan berekspresi, dan menghambat partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.

  • Pengawasan dan Privasi

RUU Polri juga berpotensi memberikan wewenang lebih besar kepada Polri untuk melakukan pengawasan terhadap warga negara. Pengawasan yang berlebihan dapat mengancam privasi individu dan menciptakan iklim ketakutan di mana orang-orang merasa diawasi setiap saat. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan sipil yang mengedepankan privasi dan kebebasan individu dari intervensi yang tidak perlu oleh negara.

  • Kriminalisasi Aktivitas Sosial

Ada kekhawatiran bahwa RUU Polri dapat digunakan untuk mengkriminalisasi aktivitas sosial tertentu yang dianggap mengganggu ketertiban umum atau keamanan nasional. Aktivis, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah dapat menjadi target kriminalisasi ini, yang bertujuan untuk membungkam oposisi dan membatasi ruang gerak masyarakat sipil.

Respon dan Tindakan

ilustrasi unjuk rasa
ilustrasi unjuk rasa

Baca Juga: Riset INDEF Ungkap Kampus UMKM Shopee sebagai Program Pelatihan Paling Populer

  • Penolakan dari Masyarakat Sipil

Sejak diperkenalkannya RUU Polri, berbagai organisasi masyarakat sipil telah menyatakan penolakan mereka. Mereka mengadakan demonstrasi, kampanye media, dan lobi kepada anggota parlemen untuk menolak pengesahan RUU tersebut. Koalisi ini melihat RUU Polri sebagai ancaman langsung terhadap hak-hak fundamental warga negara.

  • Peran Media dan Jurnalis

Media dan jurnalis memiliki peran penting dalam mengawasi dan melaporkan setiap perkembangan terkait RUU Polri. Investigasi jurnalistik yang mendalam dan pelaporan yang akurat dapat membantu meningkatkan kesadaran publik dan mendorong diskusi yang lebih luas tentang implikasi RUU ini. Media juga dapat menjadi platform bagi berbagai pihak untuk menyuarakan pendapat mereka dan memobilisasi dukungan publik.

  • Dialog dengan Pemerintah

Dialog konstruktif antara masyarakat sipil dan pemerintah sangat penting untuk mencapai solusi yang menghormati hak-hak warga negara. Pemerintah perlu mendengarkan kekhawatiran yang disampaikan oleh masyarakat sipil dan mempertimbangkan revisi yang diperlukan untuk memastikan bahwa RUU Polri tidak merusak demokrasi dan kebebasan sipil.

Keterbukaan terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak dapat membantu menciptakan undang-undang yang lebih adil dan inklusif. Agar RUU Polri tidak mengancam demokrasi dan kebebasan sipil, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:

  1. Menghapus Kewenangan Penyadapan Tanpa Izin Pengadilan: Harus ada mekanisme yang jelas dan ketat untuk mengawasi dan mengontrol penggunaan kewenangan ini.
  2. Memperkuat Kompolnas: Berikan kewenangan yang lebih besar dan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan terhadap kepolisian.
  3. Melindungi Kritik Terhadap Kepolisian: Pastikan bahwa pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kritik terhadap kepolisian dihapus atau direvisi untuk melindungi kebebasan berekspresi.
  4. Menjaga Independensi KPK: Jangan mengurangi kewenangan KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota kepolisian.
  5. Jelasnya Batasan Fungsi Militer dan Kepolisian: Pastikan kewenangan polisi tidak tumpang tindih dengan fungsi militer untuk menjaga supremasi sipil.

RUU Polri membawa potensi ancaman yang serius terhadap demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Penguatan kewenangan tanpa pengawasan yang memadai dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, sementara pembatasan terhadap hak berpendapat dan berkumpul dapat meredam suara-suara kritis.

Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak, termasuk masyarakat sipil, media, dan pemerintah, untuk bekerja sama dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Dialog terbuka dan pengawasan yang ketat harus menjadi landasan dalam proses legislasi ini untuk memastikan bahwa RUU Polri tidak merugikan kebebasan dan demokrasi yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.*** Annisa Sabitha Rahmadini

Disclaimer: Penulis adalah Mahasiswi Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang, artikel ini ditayangkan sebagai pemenuhan tugas yang bersangkutan pada mata kuliah Sosiologi Hukum

Dapatkan info dan berita terupdate lainnya hanya di padang.pikiran-rakyat.com dan Ikuti Whatsapp Channel Marawatalk Padang, sumber informasi Rakyat Minangkabau

Editor: Rully Firmansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah