Network
MARAWATALK-Permasalahan naik turunnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Indonesia pada tingkat petani dengan deviasi cukup tajam, masih terus mewarnai iklim jual beli bahan baku minyak goreng ini beserta produk turunannya.
Di Sumatera Barat, tercatat luas perkebunan kelapa sawit berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2022 mencapai 251.591,14 hektare yang sebagian besarnya dimiliki oleh pihak perusahaan perkebunan besar dari berbagai kelompok usaha raksasa, yakni Wilmar Group, Musimas Group, Bakrie Group hingga Incasi Raya Group.
Disamping hiruk pikuk persoalan kebun plasma masyarakat yang tak pernah usai, masalah ambang batas baku mutu hasil panen khususnya dari petani juga telah menjadi masalah yang tak kalah peliknya karena sangat menentukan terhadap besaran potongan pada saat penimbangan oleh pihak pengelola pabrik pengolahan kelapa sawit.
Baca Juga: Punya Perkebunan Kelapa Sawit di Sumbar, Ini Deretan Gurita Bisnis Bakrie Group di Indonesia
Sederetan permasalahan tersebut terus coba dijawab dengan menghadirkan sistem pengelolaan menggunakan pendekatan inovasi teknologi, salah satunya seperti yang dihadirkan oleh Universitas Andalas (Unand) Padang yang diberi nama Teknologi Sensor Sawit
Direktur Kerja Sama dan Hilirisasi Riset Unand, Muhammad Makky, disela-sela kegiatan Indonesia Innovation and Research atau InaRI Expo 2023, menjelaskan teknologi yang ditawarkan pihaknya diyakini mampu membantu petani kelapa sawit untuk menentukan tingkat kematangan TBS.
"Tak hanya itu, teknologi ini juga mampu menghadirkan perkiraan penggunaan pupuk, jumlah truk angkut hingga distribusi ke tangki penyimpanan yang menjadi fitur traceability proses produksi hingga lokasi areal perkebunan yang selama ini juga menjadi kendala penentu jatuh bangunnya harga TBS akibat fluktuasi harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar dunia," ungkapnya.
Baca Juga: Pemerintah Segera Putihkan 3,3 Juta Kebun Sawit Dalam Kawasan Lindung
